Part 1
Nadia menatap layar ponselnya yang penuh pesan tak terbalas. Hatinya perih, tak percaya bagaimana cinta yang pernah terasa begitu indah bisa berubah menjadi luka yang tak kunjung sembuh. Dulu, Arga berjanji tak akan pergi. Namun kini, jarak di antara mereka bukan hanya hitungan kilometer, tapi juga hati yang tak lagi saling menyapa.
Saat hujan turun di luar jendela, Nadia meremas cincin kecil di jemarinya — simbol janji yang kini retak. Ia akhirnya sadar, mencintai tak selalu berarti memiliki. Kadang, cinta harus diikhlaskan, meski perih, demi menyelamatkan dirinya sendiri.
Part 2
Seminggu setelah kepergian Arga, Nadia mencoba berdamai dengan dirinya sendiri. Setiap sudut kamar masih menyimpan jejak kenangan, mulai dari foto di dinding hingga aroma parfum Arga yang tertinggal di jaketnya. Rasanya sulit bernapas di antara bayangan masa lalu, namun ia tahu, menenggelamkan diri dalam luka hanya akan membuatnya semakin rapuh.
Suatu sore, Nadia memberanikan diri membalas pesan Arga — bukan untuk meminta kembali, tetapi untuk mengucapkan selamat tinggal yang sebenarnya. Dengan tangan bergetar, ia menulis:
"Terima kasih pernah membuatku bahagia. Aku belajar banyak, dan sekarang aku harus belajar melepaskan."
Air matanya jatuh, tapi kali ini tidak seberat dulu. Karena Nadia sadar, meski cintanya pernah tersakiti, ia masih punya kesempatan menyembuhkan dirinya sendiri dan membuka lembar baru tanpa bergantung pada siapa pun.
Part 3
Beberapa bulan berlalu, dan perlahan Nadia mulai menemukan ritme hidupnya lagi. Ia menata ulang kamarnya, membuang barang-barang yang hanya membuatnya teringat pada Arga, lalu menuliskan mimpi-mimpi baru di buku catatan. Teman-teman dekatnya datang silih berganti, memberi semangat, memeluknya, menegaskan bahwa ia pantas bahagia.
Suatu pagi, Nadia bangun dengan perasaan berbeda. Tidak lagi ada sesak di dadanya, tidak ada air mata di bantalnya. Ia bahkan bisa tersenyum menatap pantulan wajahnya sendiri di cermin. Mungkin inilah tanda bahwa luka itu mulai sembuh, dan meskipun bekasnya masih ada, ia tidak lagi membiarkan rasa sakit menguasainya.
Nadia berjanji pada dirinya sendiri: cinta yang akan datang nanti harus lebih sehat, lebih jujur, dan lebih menghargai. Karena kini ia tahu, mencintai diri sendiri adalah langkah pertama sebelum mencintai orang lain lagi.
Part 4
Setelah sekian lama menata hatinya, Nadia merasa siap menghadapi dunia dengan cara baru. Ia mulai fokus pada hal-hal yang pernah ia tinggalkan: hobinya melukis, membaca buku, bahkan merencanakan perjalanan singkat ke luar kota. Rasanya seperti menyalakan kembali cahaya yang dulu sempat padam.
Di sebuah pameran seni, Nadia bertemu seseorang bernama Reza. Awalnya ia ragu membuka diri, takut terluka lagi. Namun Reza hadir tanpa menuntut apa pun — ia hanya menjadi teman bicara, mendengarkan, dan tertawa bersamanya tanpa memaksa. Sedikit demi sedikit, hati Nadia belajar percaya bahwa tidak semua orang akan pergi dan meninggalkan luka.
Malam itu, saat menulis di jurnalnya, Nadia menuliskan satu kalimat yang membuatnya tersenyum:
"Aku berhak mencintai lagi, tanpa rasa takut."
TAMAT
Comments
Post a Comment